Rabu, 18 Mei 2016



Mengembangkan Teknologi  Informasi  Dalam Rangka Menciptakan Pendidikan Islam Bermutu Di Sekolah
Teknologi informasi dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah Information Technology adalah istilah umum untuk teknologi apapun yang membantu manusia dalam membuat, mengubah, menyimpan, mengomunikasikan dan menyebarkan informasi. Teknologi informasi menyatukan komunikasi dan komputasi berkecepatan tinggi untuk data, suara, dan video. Contoh dari teknologi informasi bukan hanya berupa komputer pribadi, tetapi juga telepon, TV, peralatan rumah tangga elektronik, dan peranti genggam modern (misalnya pondel).[1]
Teknologi informasi sangat diperlukan untuk dikembangkan dalam rangka mencipatakan pendidikan islam yang bermutu di sekolah-sekolah. Mengapa sangat diperlukan? Teknologi merupakan suatu hal yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia pada saat ini. Teknologi akan semakin berkembang pesat sesuai dengan berkembangnya zaman yang semakin pesat pada era sekarang. Teknologi seperti suatu kebutuhan bagi manusia. Begitu pula pada sistem pendidikan, teknologi merupakan suatu kebutuhan sebagai penyeimbang dan penyempurna berjalannya suatu sistem pendidikan. Agar tujuan pendidikan dapat tercapai dengan cepat dan maksimal.
Dalam menghadapi IPTEK yang sangat berkembang pesat, pendidikan islam terutama lembanganya diharuskan untuk mampu mengadaptasikan dirinya dengan kondisi yang ada pada saat ini agar tidak tertinggal dengan perkembangan yang ada. Pendidikan harus diarahkan mengikuti  perkembangan teknologi, akan tetapi pendidikan islam juga jangan sampai hanyut terbawa arus globalisasi dan medernisasi dengan adanya teknologi. Karena sebagai pendidikan islam, maka pegangan teguh Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup dan sekaligus ciri khas pendidikan islam harus tetap diutamakan.
Namun, dengan adanya teknologi dalam rangka mengembangkan pendidikan islam pada era ini yang tentu saja membawa pengaruh  terhadap perkembangan kualitas output pendidikan, baik umum maupun islam. Karena yang dulunya pendidikan dilaksanakan dengan cara yang sederhana sekarang sudah berkembang sesuai dengan kemajuan teknologi.
Mengembangkan teknologi dalam rangka menciptakan pendidikan islam bermutu disekolah dimulai dengan jajaran para guru yang harus melakukan pendidikan ataupun pelatihan dalam bidang IPTEK. Kemudian para guru mengarahkan anak didik dalam mengembangkan penggunaan teknologi dalam sistem pembelajarannya, dengan menyeimbangakna nilai-nilai islam menjadi acuan utamanya. Para guru memotivasi anak didik agar mengembangkan kreatifitasnya menggunakan teknologi.


[1] Williams, Sawyer, (2007), Using Information Technology terjemahan Indonesia, Penerbit ANDI, ISBN 979-763-817-0

Rabu, 27 April 2016

IBADAH SYARIAH
(QURBAN dan AQIQAH)


Di susun oleh:
Rifki aida maulidina
Dosen Pembimbing:
Abdul Wahab, M.E.I

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
2015


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Ibadah qurban adalah ibadah yang menjadi salah satu ciri utama perayaan hari raya Idul Adha dan menjadi agenda rutin umat islam setiap tahunnya. Sedangkan aqiqah adalah salah satu tradisi islam yang sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Aqiqah merupakan upacara perayaan rasa syukur atas keselamatan bayi yang baru lahir.
Qurban dengan berbagai istilah yang ada merupakan media pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya. Qurban termasuk sunnah yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim as. Tatkala Nabi Ibrahim mendapat perintah Allah untuk menyembelih putranya ismail.[1]
Ada dua ibadah yang mirip, tetapi sebetulnya berbeda. Dan akibat kemiripan itu terkadang membuat umat islam sulit untuk membedakan antara keduanya. Dua ibadah itu adalah qurban dan aqiqah.
Qurban adalah penyembelihan hewan oleh orang yang mampu pada hari-hari tertentu di bulan Dzulhijah. Adapun aqiqah adalah penyembelihan hewan oleh seseoranag atas kelahiran anaknya. Jika ibadah yang pertama dianjurkan untuk dilaksanakan pada setiap tahun, untuk yang kedua tidak, yaitu hanya saat kelahiran seorang bayi. Kemudian, jika qurban bisa dilaksanakan dengan kelompok beberapa orang, untuk aqiqah tidak diperbolehkan. Inilah diantara sedikit perbedaan antara dua ibadah itu.[2]
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana pengertian qurban dan aqiqah?
2.      Bagaimana dalil naqli qurban dan aqiqah?
3.      Bagaimana dasar hukum qurban dan aqiqah?
4.      Bagaimana syarat-syarat qurban dan aqiqah?
5.      Bagaimana tata cara penyembelihan qurban dan aqiqah?
6.      Bagaimana fungsi qurban dan aqiqah?
C.    TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mengetahui pengertian qurban dan aqiqah.
2.      Untuk mengetahui dalil naqli qurban dan aqiqah.
3.      Untuk mengetahui dasar hukum qurban dan aqiqah.
4.      Untuk mengetahui syarat-syarat qurban dan aqiqah.
5.      Untuk mengetahui tata cara penyembelihan qurban dan aqiqah.
6.      Untuk mengetahui fungsi qurban dan aqiqah.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qurban dan Aqiqah
Kata qurban berasal dari bahasa Arab qurban, diambil dari kata qaruba yaqrubu, qurban wa qurbanan. Artinya, mendekati atau menghampiri. Adapun menurut istilah qurban adalah menyembelih binatang qurban (unta, sapi, kambing, atau domba) sebagai pengorbanan pada hari Idhul Adha, dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah.
Sedangkan aqiqah adalah menyembelih kambing yang disembelih untuk bayi yang baru lahir yaitu pada hari ketujuh kelahiran sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT.[3]
B. Dalil Naqli Qurban dan Aqiqah
            Dalil naqli qurban
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berqurbanlah.” (Al-Kautsar(108):2)
وَالْبُدْنَ جَعَلْنهَا لَكُمْ مِنْ شَعَا ئِرِ اللّهِ لَكُمْ فِيْهَا خَيْرٌ
“Dan telah kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagai syiar Allah (penyembelihan hewan qurban). Kamu banyak memperoleh kebaikan dari padanya, maka sebutlah nama Allah ketika kamu menyembelihnya.” (Al-Hajj(22):36)[4]
            Dalil naqli aqiqah
وَعَنْ سَمُرَةَ رَضِىَ اللّهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كُلُّ غُلَمٍ مُوْتَهِنٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ,وَيُحْلَقُ,وَيُسَمَّى(رواه احمد)
“Dari Samurah ra. Bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: tiap-tiap anak terpelihara dengan aqiqahnya, yang disembelih untuknya pada hari ketujuhnya, ia dicukur rambutnya, dan diberi nama.” (HR.Ahmad)[5]
C. Dasar Hukum Qurban dan Aqiqah
            Hukum qurban
Hukum qurban adalah sunnah, tidak wajib. Imam Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa qurban hukumnya sunnah bagi orang yang mampu, bukan wajib, baik orang itu berada di kampung halamannya ataupun dalam musafir maupun yang dalam mengerjakan haji. Sebaliknya makruh hukumnya meninggalkan berqurban bagi orang yang mampu.
Lalu bagaimana seseorang dikatakan mampu?
Ukuran mampu bagi seseorang untuk berqurban adalah sama halnya seseorang tersebut mampu untuk bersedekah, yaitu mempunyai kelebihan harta setelah terpenuhinya kebutuhan pokok, seperti sandang pangan papan.
a)      Bagi Rasulullah SAW.
كُتِبَ عَلَيَّ النَّحْرُ وَالذَّبْحُ وَلَمْ يَكْتُبْ عَلَيْكُمْ
“Telah diwajibkan atasku (Rasulullah) berqurban dan ia (berqurban) tidak  wajib atas kalian.”(HR Thabrani)
b)      Bagi umat islam
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Barangsiapa mempunyai kelonggaran harta, tetapi ia tidak melaksanakan qurban maka janganlah sekali-kali ia mendekati masjid kami.”(HR Ahmad dan Ibnu Majah)
Tidak layak seseorang yang mampu berqurban tetapi tidak berqurban, mendekati masjid untuk sholat Idul Adha. Meskipun demikian celaan ini tidak berat setingkat perbuatan keji. Lagi pula meninggalkan sholat Idul Adha tidaklah berdosa sebab hukumnya sunnah. Jadi celaan tersebut mengandung hukum makruh bukan haram.[6]
c)      Bagi seseorang yang bernadzar
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيْعَ اللّهَ فَلْيُطِعْهُ
“Barangsiapa bernadzar untuk taat kepada Allah, maka hendaklah ia melaksanakannya.”(HR Turmudzi)
Hukum aqiqah
Hukum aqiqah adalah sunnah. Sesuai pandangan ulama Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Imam Malik. Akan tetapi menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqhus Sunnah mengategorikan sebagai Sunnah Mu’akkadah. Artinya setiap orang tua ditekankan untuk aqiqah apabila dikaruniai anak walaupun dalam keadaan sempit. Karena Ashhabus sunan pernah meriwayatkan bahwa Nabi pernah mengaqiqahi Hasan dan Husein masing-masing seekor kambing qibasy.
Sebagian besar ulama tidak sependapat dengan pendapat ulama yang mewajibkannya aqiqah. Dikarenakan tidak adanya kewajiban secara mutlaq di dalam al-Qur’an dan apabila wajib pasti Rasulullah sejak awal telah menerangkan kewajiban tersebut.[7]

D. Syarat-syarat Qurban dan Aqiqah
            Qurban
a)      Jenis hewan qurban
Hewan yang digunakan dalam penyembelihan qurban adalah unta, sapi, dan kambing.
لِّيَذْكُرُوا اسْمَ اللّهِ عَلى مَا رَزَقَهُمْ مِّنْ بَهِيْمَةِ الْاَنْعَامِ......
...agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak...(Al-Hajj 22:34)
b)      Usia hewan
Usia hewan yang diutamakan adalah untuk kambing atau domba berumur satu tahun masuk tahun kedua, untuk sapi berumur dua tahun, dan untuk unta berumur lima tahun.
لاَ تَذْبَحُوْا إِلاَّ مُسِنَّةً إِلاَّ أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوْا جَذَعَةً مِنَ اظَّأْنِ
“Janganlah kalian sembelih binatang melainkan hewan itu sudah berumur dua tahun, kecuali jika kalian kesulitan, maka sembelihlah oleh kalian binatang yang berumur satu tahun (masuk tahun kedua).
c)      Yang tidak diperbolehkan.
Hewan qurban hendaknya terbebas dari kurus dan cacat yaitu buta sebelah matanya, yang pincang, tidak al’udhba’(yang pecah tanduknya, atau yang terpotong telinganya), dan tidak sakit.
أَرْبَعٌ لاَ تَجُوْزُ فِي الأَضَاحِي :الْعَوْرَاءُ الْبَيَّنُ عَوَرُهَا, وَالْمَرِيْضَةُ الْبَيَّنُ مَرَضَهَا, وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ضَلَعُهَا, وَالْكَسِيْرَةُ الَّتِي لاَ تُنْقِي
“Ada empat macam yang tidak boleh ada pada hewan qurban: buta sebelah yang jelas butanya, yang sakit jelas sakitnya, yang pincang jelas pincangnya, dan hewan yang tidak mempunyai sumsum.”(HR Abu Daud:2808, dan Imam Amad:4/3000), Adapun yang dimaksud tidak memiliki sumsum pada tulangnya, hewan yang sangat kurus.
d)     Waktu penyembelihan qurban
Waktu afdhal nya penyembelihan adalah pagi hari di hari Idul Adha yakni setelah selesai melaksanakan shalat ied pada tanggal 10 Dzulhijah hingga akhir hari tasyriq (sebelum maghrib) yaitu pada tanggal 13 Dzulhijjah. Tidak sah jika hewan qurban disembelih sebelum shalat Idul Adha.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ,قَلَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِيْنَ
Dari Anas bin Malik r.a. berkata bahwa Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa berqurban sebelum shalat (Idul Adha) maka ia menyembelih untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa berqurban setelah shalat maka sempurnalah ibadah qurbannya dan sesuai sunnah ummat islam.”(HR Bukhari)


e)      Pendistribusian hewan qurban
Hewan qurban tersebut disunnahkan dibagi menjadi tiga yaitu sepertiga dibagikan  kerabat dan sanak saudara, sepertiga disedekahkan kepada fakir miskin, dan sepertiganya lagi untuk disimpan atau untuk yang berqurban.
كُلُوْا وَأَطْعِمُوْا وَاحْبِسُوْا أَوِادَّخِرُوْا
“Makanlah (daging qurban), berikanlah, dan simpanlah.”(HR Muslim)[8]

Aqiqah
a)      Kondisi kesehatan dan usia hewan aqiqah.
Apa yang diperbolehkan dalam berqurban dari segi umur dan kondisi fisik maka diperbolehkan dalam aqiqah, dan apa yang tidak diperbolehkan untuk berqurban juga tidak diperbolehkan untuk aqiqah.
b)      Waktu pelaksanaanya.
Jika memungkinkan, penyembelihan dilangsungkan pada hari ketujuh. Jika tidak, maka pada hari keempat belas. Dan jika yang demikian masih tidak memungkinkan, maka pada hari kedua puluh satu.
تُذْبَحُ لِسَبْعٍ, وَلِاَرْبَعَ عَشَرَ, وَلِإِحْدَى وَعِشْرِيْنَ
“Disembelih (aqiqah) pada hari ketujuh, dan hari keempat belas, dan pada hari kedua  puluh satu.”
Menurut Imam malik aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh adalah sunnah, dan apabila dilakukan pada hari keempat belas, kedua puluh satu, ataupun seterusnya tetap diperbolehkan. Pendapat ini juga diperkuat oleh sayyid Sabiq dalam bukunya fiqhus sunnah yang membolehkan melakukan aqiqah pada hari setelah kedua puluh satu.
c)      Aqiqah untuk anak laki-laki dan anak perempuan.
Afdhal untuk anak laki-laki disembelihkan dua ekor kambing, sedangkan untuk anak perempuan satu ekor.
إِنَّ رَسُوْلَ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُمْ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
“Sesungguhnya Rasulullah SAW memerintahkan mereka beraqiqah untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor kambing.” (HR Turmudzi).

d)     Memakan sebagian dan membagikan sebagian.
Dianjurkan untuk membaginya sebagaimana pembagian dalam daging qurban, memakan sebagian darinya, mensedekahkan, dan menghadiahkan sebagian lainnya.

E. Tata Cara Penyembelihan Qurban dan Aqiqah
            Di dalam penyembelihan terdapat 4 rukun penyembelihan, yaitu:
a)      Adz-Dzabih (penyembelih).
b)      Hewan yang disembelih.
c)      Al-Alah (alat), yaitu setiap alat yang dengan ketajamannya dapat digunakan menyembelih hewan, seperti pisau, besi, dan tembaga. Tidak diperbolehkan menyembelih hewan dengan gigi, kuku, dan tulang hewan.
d)     Proses penyembelihan itu sendiri. Dalam penyembelihan ini, wajib memutuskan saluran napas dan saluran makanan.

Teknis penyembelihan:

a)      Hewan dibaringkan ke sebelah rusuknya yang kiri dengan posisi mukanya menghadap ke kiblat.
b)      Penyembelih meletakkan kakinya yang sebelah di atas leher hewan, agar hewan itu tidak menggerak-gerakkan kepalanya atau meronta.
c)      Apabila hewan yang akan disembelih adalah unta disunnahkan hewan itu berdiri, dengan kaki kiri sebelah depan terlipat dan diikat.
d)     Hendaknya penyembelih menggunakan benda tajam, tidak tumpul, untuk menghindari adanya penyiksaan terhadap hewan.
e)      Penyembelih melakukan penyembelihan sambil membaca basmalah, dapat pula ditambah dengan membaca sholawat atas Nabi SAW. maupun diiringi dengan membaca doa:
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“Ya Tuhan kami, terimalah qurban kami ini, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
F. Fungsi Qurban dan Aqiqah
            Qurban
a)      Akan menambah cinta dan keimanan kita kepada Allah SWT.
b)      Sebagai rasa syukur pada Allah SWT atas karunia yang dilimpahkan pada kita.
c)      Menambah rasa peduli dan tolong-menolong kepada orang lain yang kurang mampu.
d)     Akan menambah persatuan dan kesatuan karena ibadah qurban melibatkan seluruh lapisan masyarakat.[9]

Aqiqah

a)      Sebagai bukti rasa syukur orang tua kepada Allah SWT atas nikmat yang diberikannya berupa anak.
b)      Membiasakan bagi orang tua untuk berkorban demi kepentingan anaknya yang baru lahir.
c)      Sebagai penebus gadai anak dari Allah SWT sehingga anak menjadi hak baginya dalam beramal dan beribadah.
d)     Hubungan dengan tetangga dan sanak kerabat lebih erat dengan adanya pembagian daging aqiqah.
e)      Sebagai wujud meneladani sunnah Rasulullah SAW, sehingga akan memperoleh nilai pahala disisi Allah SWT.[10]


















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian qurban adalah menyembelih binatang qurban (unta, sapi, kambing, atau domba) sebagai pengorbanan pada hari Idhul Adha, dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Sedangkan aqiqah adalah menyembelih kambing yang disembelih untuk bayi yang baru lahir yaitu pada hari ketujuh kelahiran sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT.
Dalil naqli quban adalah فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ yang artinya “Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berqurbanlah.” (Al-Kautsar(108):2). Sedangkan dalil naqli aqiqah adalah      وَعَنْ سَمُرَةَ رَضِىَ اللّهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كُلُّ غُلَمٍ مُوْتَهِنٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ,وَيُحْلَقُ,وَيُسَمَّ ((رواه احمد
Dari Samurah ra. Bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: tiap-tiap anak terpelihara dengan aqiqahnya, yang disembelih untuknya pada hari ketujuhnya, ia dicukur rambutnya, dan diberi nama.” (HR.Ahmad)
            Hukum qurban adalah sunnah, tidak wajib. Imam Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa qurban hukumnya sunnah bagi orang yang mampu, bukan wajib, baik orang itu berada di kampung halamannya ataupun dalam musafir maupun yang dalam mengerjakan haji. Sedangkan hukum aqiqah adalah sunnah. Sesuai pandangan ulama Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Imam Malik.
            Syarat-syarat qurban adalah Hewan yang digunakan dalam penyembelihan qurban adalah unta, sapi, dan kambing. Usia hewan yang diutamakan adalah untuk kambing atau domba berumur satu tahun masuk tahun kedua, untuk sapi berumur dua tahun, dan untuk unta berumur lima tahun, hewan qurban hendaknya terbebas dari kurus dan cacat yaitu buta sebelah matanya, yang pincang, tidak al’udhba’(yang pecah tanduknya, atau yang terpotong telinganya), dan tidak sakit, waktu afdhal nya penyembelihan adalah pagi hari di hari Idul Adha yakni setelah selesai melaksanakan shalat ied pada tanggal 10 Dzulhijah hingga akhir hari tasyriq (sebelum maghrib) yaitu pada tanggal 13 Dzulhijjah. Tidak sah jika hewan qurban disembelih sebelum shalat Idul Adha, hewan qurban disunnahkan sepertiga dibagikan  kerabat dan sanak saudara, sepertiga disedekahkan kepada fakir miskin, dan sepertiganya lagi untuk disimpan atau untuk yang berqurban. Syarat-syarat hewan aqiqah sama dengan syarat hewan qurban namun waktu pelaksanaan aqiqah yaitu disunnahkan pada hari ketujuh, keempat belas dan kedua puluh satu, namun hari berikutnya juga diperbolehkan, jumlah hewan aqiqah satu kambing untuk perempuan dan dua kambing untuk laki-laki.
            Teknis penyembelihan qurban dan aqiqah adalah hewan dibaringkan ke sebelah rusuknya yang kiri dengan posisi mukanya menghadap ke kiblat, penyembelih meletakkan kakinya yang sebelah di atas leher hewan, agar hewan itu tidak menggerak-gerakkan kepalanya atau meronta, apabila hewan yang akan disembelih adalah unta disunnahkan hewan itu berdiri, dengan kaki kiri sebelah depan terlipat dan diikat, hendaknya penyembelih menggunakan benda tajam, tidak tumpul, untuk menghindari adanya penyiksaan terhadap hewan, penyembelih melakukan penyembelihan sambil membaca basmalah, dapat pula ditambah dengan membaca sholawat atas Nabi SAW. maupun diiringi dengan membaca doa:
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ.
            Fungsi qurban adalah akan menambah cinta dan keimanan kita kepada Allah SWT, sebagai rasa syukur pada Allah SWT atas karunia yang dilimpahkan pada kita, menambah rasa peduli dan tolong-menolong kepada orang lain yang kurang mampu, akan menambah persatuan dan kesatuan karena ibadah qurban melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Sedangkan fungsi aqiqah adalah sebagai bukti rasa syukur orang tua kepada Allah SWT atas nikmat yang diberikannya berupa anak, membiasakan bagi orang tua untuk berkorban demi kepentingan anaknya yang baru lahir, sebagai penebus gadai anak dari Allah SWT sehingga anak menjadi hak baginya dalam beramal dan beribadah, hubungan dengan tetangga dan sanak kerabat lebih erat dengan adanya pembagian daging aqiqah, sebagai wujud meneladani sunnah Rasulullah SAW, sehingga akan memperoleh nilai pahala disisi Allah SWT.

















DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Hafidh. Bulughul Maram, “terj.”, Mahrus ali. Surabaya: Mutiara
Ilmu, 1995.
 Jabir Al-Jaza’iri, Abu Bakar. Minhajul Mslim. Surakarta: Insan Kamil, 2011.
Nurul Rosidin, Didin. Kurban dan Permasalahannya. Jakarta: Inti Medina, 2009.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Jakarta: At-Tahiriyah, 1954.
Rifa’i, Moh. Fiqh untuk Madrasah Aliyah. Semarang: PT Wicaksana, 1991.
Rosyidah, Dian dkk. Fiqih kelas IX untuk Mts dan SMP Islam. Jakarta: Arafah Mitra Utama,
2008.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Bandung: PT AL-MA’ARIF, 1996.


[1] Didin nurul rosidin, Kurban dan permasalahannya (Jakarta: Inti Medina, 2009), 39.
[2] Ibid., 73.
[3] Abu bakar jabir al-jaza’iri, Minhajul muslim (Surakarta: Insan Kamil, 2011), 578.
[4] Al-Qur’an, 22: 36.
[5] Al hafiddh ibnu hajar al asqalani, Bulughul Maram, “terj.”, Mahrus ali (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995), 596.
[6] Rosidin, Kurban dan permasalahannya, 45.
[7] Rosidin, Kurban dan permasalahannya, 77.
[8] Rosidin, Kurban dan permasahannya, 66.
[9] Moh Rifa’i, Fiqh untuk Madrasah Aliyah (Semarang: PT Wicaksana, 1991), 180.
[10] Dian Rosyidah, dkk, Fiqih kelas IX untuk Mts dan SMP Islam (Jakarta: Arafah Mitra Utama, 2008), 27.